Kerajaan Siak sebagai OrangTua dari Republik Indonesia
oleh Datuk Meiko Sofyan pada 22 Februari 2011 jam 12:36
Serasehan “Menyoal Identitas Indonesia Dalam Perspektif Kebudayaan”
Gedung Joang 45, Jalan Menteng 31, Jakarta Pusat
20 Mei 2010
Bercerita mengenai latar belakang sejarah dan budaya mengenai bagaimana peran dan posisi Siak Sri Inderapura / Riau sebagai Orang Tua dari Indonesia; bisa kita mulai dari semenjak pendudukan Jepang ke Siak Sri Inderapura pada tahun 1943 yang berakibat terganggunya pemerintahan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kemudian terjadi peristiwa pemboman Hiroshima & Nagasaki oleh Amerika Serikat yang menyebabkan Jepang bertekuk lutut dan terpaksa meninggalkan Siak dan wilayah Nusantara lainnya. Disusul kemudian oleh Proklamasi Kemerdekaan pada tgl 17 Agustus 1945 yang menyebabkan lepasnya ikatan Hindia Belanda dan terhentinya ikatan kongsi dagang antara Kerajaan Siak dengan Kerajaan Belanda yang diatur pada Konstitusi Kerajaan Siak Sri Inderapura (Bab Al Qawa’id / Pintu segala pegangan).
Proklamasi Kemerdekaan yang dirintis oleh indo campuran (Pribumi-Belanda) yang membuka cakrawala kita bahwa wilayah Pribumi Melayu adalah dari Sabang-Merauke, menyebabkan Sultan Siak (SSK II) mengadakan 3 pilihan:
Langkah Pertama yang dilakukan oleh Sultan kami adalah menyumbangkan harta pribadi beliau sebesar 13,000,000,00 Gulden, emas permata dan Mahkota Kesultanan yang tak ternilai harganya.
Langkah Kedua Sultan kami berangkat menuju Medan (Sumatera Utara) hendak menemui Teuku Moehamad Hasan (Gubernur Sumatera / wakil Pusat di Sumatera) untuk menyampaikan sikap Beliau atas nama Kesultanan Siak yang mana menyatakan diri menggabungkan pemerintahan demi membesarkan NKRI, serta hendak membicarakan kedudukan Beliau di gabungan pemerintahan yang baru. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, di Medan / Sumatera Utara saat itu sedang bergolaknya revolusi sosial di mana para Sultan dibunuh oleh Komunis serta masuknya kembali Belanda melalui Agresi Militer I. Belanda saat itu sedang getol-getolnya hendak mendirikan Negara boneka Belanda yang digabungkan dalam wadah BFO. Belanda sangat membutuhkan Sultan Syarif Kasim II untuk memuluskan rencananya tersebut. Tetapi Sultan kami menentang rencana Belanda tersebut lantas bersama Teuku Mohamad Hasan memanggil Ali Hasjim, pimpinan Divisi Rencong Aceh untuk menjemput Beliau untuk kemudian diamankan ke Aceh. Oleh Gubernur Aceh SSK II dijadikan penasehat Pemerintahan Aceh. Selama di Aceh Sultan kami tidak tinggal diam, Beliau sering turun ke Front pertempuran ini dibuktikan oleh banyaknya tulisan Ali Hasjim. Contoh mengenai hal ini adalah ketika Ali Hasjim melakukan inspeksi pasukan di Front, SSK II selalu ikut. Hal ini sangat mengejutkan kami, tak terbayangkan oleh kami Sultan kami turun ke Front pertempuran. Tapi ternyata hal ini terjadi. Di saat yang sama Belanda menduduki Kesultanan Siak dengan berpusat di Bengkalis dengan membentuk Sultan Raat dan Siak Raat menggantikan SSK II yang sedang tidak di tempat. Siak Raat adalah terdiri dari wakil-wakil rakyat Kerajaan Siak, Sultan Raat terdiri dari Tengku-Tengku mewakili Sultan. Tujuannya agar syah bisa masuk dalam BFO Negara Boneka bentukan Belanda. Keadaan ini dilaporkan melalui radio kepada SSK II oleh beberapa pejuang Siak yang sedang bergerilya di hutan-hutan Sekitar Siak yakni: H. Wan Ghalib, Wan Abdul Rachman, Tengku Makmun, Mayor Akil, dll. SSK II kemudian menyampaikan Pidato resmi dari Aceh kepada Masyarakat Siak yang tergabung dalam Siak Raat maupun Sultan Raat agar membelok ke Republik Indonesia bukan ke Belanda. SSK II juga memerintahkan Karim Said, Tengku Abu Bakar, Maslamat, dll. yang dikoordinir oleh Datuk Wan Entol agar menyusup ke dalam Siak Raat untuk membelokkan keputusan Siak Raat demi membela penggabungan pemerintahan Siak kepada NKRI. Kemudian team ini (Dt. Wan Entol, Karim Said, T. Abu Bakar, Maslamat, dll.) berangkat ke Jogja menemui Bung Karno menyampaikan bahwa SSK II menolak membela Belanda melalui Siak Raat yang diundang Belanda untuk mengikuti perundingan Linggar Jati di Den Haag. Rombongan juga menyatakan Siak Raat pro penggabungan pemerintahan antara Kesultanan Siak dengan NKRI yang diperintahkan SSK II. Kemudian Bung Karno memerintahkan anggota BP KNIP berangkat ke Kesultanan Siak untuk menemui rakyat Siak yang pro Republik. Hasil kunjungan BP KNIP ke Kerajaan Siak menghasilkan sebuah Program untuk memberikan status Daerah Istimewa kepada Kerajaan Siak. Tahun berganti waktu berjalan, program tersebut tidak pernah terwujud, bahkan sampai SSK II sendiri yang datang ke Jakarta menemui Soekarno menagih janji program Daerah Istimewa kepada Kerajaan Siak yang telah banyak berjasa kepada NKRI tapi tetap tidak diacuhkan. Malahan dibentuk Provinsi Sumatera Tengah kemudian Provinsi Riau dan wilayah inti Kerajaan Siak dijadikan Kecamatan. Maka semakin jauhlah dari janji hendak memberikan Daerah Istimewa.
Pekanbaru, 18 Mei 2010
Dt. Meiko Sofyan
Lembaga Adat Melayu Riau
Bid. Agama, Pembelaan dan Perlindungan Masyarakat Adat
Gedung Joang 45, Jalan Menteng 31, Jakarta Pusat
20 Mei 2010
Bercerita mengenai latar belakang sejarah dan budaya mengenai bagaimana peran dan posisi Siak Sri Inderapura / Riau sebagai Orang Tua dari Indonesia; bisa kita mulai dari semenjak pendudukan Jepang ke Siak Sri Inderapura pada tahun 1943 yang berakibat terganggunya pemerintahan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kemudian terjadi peristiwa pemboman Hiroshima & Nagasaki oleh Amerika Serikat yang menyebabkan Jepang bertekuk lutut dan terpaksa meninggalkan Siak dan wilayah Nusantara lainnya. Disusul kemudian oleh Proklamasi Kemerdekaan pada tgl 17 Agustus 1945 yang menyebabkan lepasnya ikatan Hindia Belanda dan terhentinya ikatan kongsi dagang antara Kerajaan Siak dengan Kerajaan Belanda yang diatur pada Konstitusi Kerajaan Siak Sri Inderapura (Bab Al Qawa’id / Pintu segala pegangan).
Proklamasi Kemerdekaan yang dirintis oleh indo campuran (Pribumi-Belanda) yang membuka cakrawala kita bahwa wilayah Pribumi Melayu adalah dari Sabang-Merauke, menyebabkan Sultan Siak (SSK II) mengadakan 3 pilihan:
- Kembali berjaya seperti sedia kala sebagai sebuah Kesultanan yang sangat kaya raya
- Kembali ber-kongsi dagang dengan Kerajaan Belanda
- Menggabungkan pemerintahan demi membesarkan NKRI.
Langkah Pertama yang dilakukan oleh Sultan kami adalah menyumbangkan harta pribadi beliau sebesar 13,000,000,00 Gulden, emas permata dan Mahkota Kesultanan yang tak ternilai harganya.
Langkah Kedua Sultan kami berangkat menuju Medan (Sumatera Utara) hendak menemui Teuku Moehamad Hasan (Gubernur Sumatera / wakil Pusat di Sumatera) untuk menyampaikan sikap Beliau atas nama Kesultanan Siak yang mana menyatakan diri menggabungkan pemerintahan demi membesarkan NKRI, serta hendak membicarakan kedudukan Beliau di gabungan pemerintahan yang baru. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, di Medan / Sumatera Utara saat itu sedang bergolaknya revolusi sosial di mana para Sultan dibunuh oleh Komunis serta masuknya kembali Belanda melalui Agresi Militer I. Belanda saat itu sedang getol-getolnya hendak mendirikan Negara boneka Belanda yang digabungkan dalam wadah BFO. Belanda sangat membutuhkan Sultan Syarif Kasim II untuk memuluskan rencananya tersebut. Tetapi Sultan kami menentang rencana Belanda tersebut lantas bersama Teuku Mohamad Hasan memanggil Ali Hasjim, pimpinan Divisi Rencong Aceh untuk menjemput Beliau untuk kemudian diamankan ke Aceh. Oleh Gubernur Aceh SSK II dijadikan penasehat Pemerintahan Aceh. Selama di Aceh Sultan kami tidak tinggal diam, Beliau sering turun ke Front pertempuran ini dibuktikan oleh banyaknya tulisan Ali Hasjim. Contoh mengenai hal ini adalah ketika Ali Hasjim melakukan inspeksi pasukan di Front, SSK II selalu ikut. Hal ini sangat mengejutkan kami, tak terbayangkan oleh kami Sultan kami turun ke Front pertempuran. Tapi ternyata hal ini terjadi. Di saat yang sama Belanda menduduki Kesultanan Siak dengan berpusat di Bengkalis dengan membentuk Sultan Raat dan Siak Raat menggantikan SSK II yang sedang tidak di tempat. Siak Raat adalah terdiri dari wakil-wakil rakyat Kerajaan Siak, Sultan Raat terdiri dari Tengku-Tengku mewakili Sultan. Tujuannya agar syah bisa masuk dalam BFO Negara Boneka bentukan Belanda. Keadaan ini dilaporkan melalui radio kepada SSK II oleh beberapa pejuang Siak yang sedang bergerilya di hutan-hutan Sekitar Siak yakni: H. Wan Ghalib, Wan Abdul Rachman, Tengku Makmun, Mayor Akil, dll. SSK II kemudian menyampaikan Pidato resmi dari Aceh kepada Masyarakat Siak yang tergabung dalam Siak Raat maupun Sultan Raat agar membelok ke Republik Indonesia bukan ke Belanda. SSK II juga memerintahkan Karim Said, Tengku Abu Bakar, Maslamat, dll. yang dikoordinir oleh Datuk Wan Entol agar menyusup ke dalam Siak Raat untuk membelokkan keputusan Siak Raat demi membela penggabungan pemerintahan Siak kepada NKRI. Kemudian team ini (Dt. Wan Entol, Karim Said, T. Abu Bakar, Maslamat, dll.) berangkat ke Jogja menemui Bung Karno menyampaikan bahwa SSK II menolak membela Belanda melalui Siak Raat yang diundang Belanda untuk mengikuti perundingan Linggar Jati di Den Haag. Rombongan juga menyatakan Siak Raat pro penggabungan pemerintahan antara Kesultanan Siak dengan NKRI yang diperintahkan SSK II. Kemudian Bung Karno memerintahkan anggota BP KNIP berangkat ke Kesultanan Siak untuk menemui rakyat Siak yang pro Republik. Hasil kunjungan BP KNIP ke Kerajaan Siak menghasilkan sebuah Program untuk memberikan status Daerah Istimewa kepada Kerajaan Siak. Tahun berganti waktu berjalan, program tersebut tidak pernah terwujud, bahkan sampai SSK II sendiri yang datang ke Jakarta menemui Soekarno menagih janji program Daerah Istimewa kepada Kerajaan Siak yang telah banyak berjasa kepada NKRI tapi tetap tidak diacuhkan. Malahan dibentuk Provinsi Sumatera Tengah kemudian Provinsi Riau dan wilayah inti Kerajaan Siak dijadikan Kecamatan. Maka semakin jauhlah dari janji hendak memberikan Daerah Istimewa.
- Kondisi teraktual dalam perspektif kebudayaan mengenai nasib nilai lokalitas Riau / Siak Sri Inderapura saat berhadapan dengan (kebutuhan) nasionalisme maka jawabannya adalah sangat menyedihkan. Semenjak bergabung secara pemerintahan maka nasib anak bumi Kerajaan Siak Sri Inderapura menjadi sangat teraniaya. Mulai kebutuhan Primer apalagi sekunder tak dapat terpenuhi lagi. Ibu-ibu hamil yang kekurangan gizi, menyebabkan balita yg lahir lemah dalam segala hal, menghasilkan pengerusakan generasi rakyat Siak. Sisi ekonomi yang morat-marit karena hutan, ladang tempat mencari makan habis dirampas oleh Perusahaan – perusahaan raksasa dengan dalih investasi. Hutan di Riau dinyatakan tidak ada pemiliknya oleh Pemerintah Pusat. Sebuah keputusan yang sangat sepihak mengingat tidak sejengkal pun tanah di Riau yang tidak ada pemilik. Tanah di Riau adalah milik Masyarakat dan Ulayat, Sultan Siak sendiri tidak berani mengganggu tanah milik Masyarakat & Ulayat tersebut, walaupun tanpa surat. Dan yang digabungkan antara Kerajaan Siak dengan NKRI adalahPEMERINTAHANNYA bukan AIR, TANAH ATAU MINYAKNYA. Ratusan Milyar barrel minyak kualitas 1 di dunia (Sumatran Light Crude) dieksploitasi dari bumi Siak tanpa ada kelayakan pembangunan di daerah lingkar tambang (Kabupaten Siak). Sangat kontras dibandingkan perumahan kuli kontrak dari Amerika yang tinggal dengan segala kemewahan fasilitas sebuah perusahaan minyak. Sementara si Melayu asli pemilik minyak berjuang melawan maut yang senantiasa mengintai mereka di dalam gubug reot. Sekolah SD, SMP, SMA apalagi Universitas sebagai sarana yang sangat vital untuk generasi penerus pilar kekuatan bangsa tidak dibangun dan tidak mendapat perhatian sama sekali. Nilai – nilai Agama, adat, tradisi berangsur punah dihantam kapitalisasi yang tidak berpihak apalagi melindungi anak bumi Kerajaan Siak Sri Inderapura. Yang dahulunya kami dijadikan idola oleh negara tetangga serumpun seperti Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, kini terkapar tak berdaya. Konglomerat Kerajaan Siak seperti Panglima H.M. Zein bin Panglima H.M. Nuh yang sempat membesarkan T.D. Pardede, yang sampai berkantor di Singapore (go international), tak ada penerusnya dan hanya menjadi kisah pengantar tidur kami setiap malam. Namun kami tetap teringat akan pesan Sultan kami melalui H. Wan Ghalib: “Wahai Ghalib suatu saat Siak akan bangkit berjaya lagi, aku mungkin tak sempat menyaksikannya tapi engkau masih sempat”. Alhamdulillah semenjak otonomi daerah digulirkan budaya Melayu kini mulai menyeruak muncul, mari kita dorong terus semangat otda ini demi pemerataan kemakmuran sesuai dengan cita-cita The Founding Fathers.
- Solusi mengenai bagaimana menciptakan keseimbangan, kesederajatan, dan kedekatan kebudayaan di antara ragam kebudayaan yang ada. Marilah kita menziarahi masa lalu kita, sejarah kita, orang tua kita. Suka atau tidak kita dari Sabang sampai Merauke adalah berbeda. Bagaikan memiliki baju satu lemari besar berbeda semua maka bukankah itu yang dinamakan kaya akan ragam; kaya akan pesona? Menciptakan keseimbangan, kesederajatan, dan kedekatan kebudayaan di antara ragam kebudayaan yang ada adalah sangat mudah. Kuncinya adalah perlakukan seluruh daerah secara adil merata dari segi pemenuhan kebutuhannya. Biarkan daerah mengurus daerah masing-masing jangan ada intervensi Pusat yang berlebihan terkait regulasi dalam bidang apapun. Ketika pemerataan kemakmuran tercapai maka nation & caracter pun akan tampil memukau, mengundang decak kagum bangsa lain karena sejatinya Indonesia ini bedelau (bersinar).
Pekanbaru, 18 Mei 2010
Dt. Meiko Sofyan
Lembaga Adat Melayu Riau
Bid. Agama, Pembelaan dan Perlindungan Masyarakat Adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar